Oleh: Eko Rojana,S.Pd.I,M.A
Masyarakat pluralisime adalah suatu masyarakat yang tediri atas unsur dengan subkulturnya masung-masing, lalu menjalin kesepakatan diri suatu komunitas yang utuh. Berbeda yang heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen idiologis yang kuat.
Masyarakat pluralisisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan masyarakat, tetapi pluralisme harus dipahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan dalam Bineka Tunggal Ika (bercerai-berai tetapi tetap satu). Pluralism juga harus disertai degan sikap yang tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai arti hikmah yang positif. Di sini hadis Nabi Muhammad mempunyai arti yang amat penting, yaitu “perbedaan yang muncul di antara umatku adalah rahmat”.
Interaksi dinamis bukan indoktrinasi aktif dari penguasa – dari realitas budaya yang berbeda akan melahirkan sentesa dan konfigurasi budaya keindonesiaan yang unik. Budaya keindonesiaan ini kelak menjadi wadah perekat yang efektif.
Bagaimana interaksi dinamis terjadi dalam masyarakat, dan unsur-unsur lokal dan primodial, seperti suku, bangsa, agama dan beposisi sebagai kekuatan daya penyatu (cenripetal). Sebaliknya, jika intekasi dinamis tidak terjadi dan yang terjadi adalah indoktinasi, maka unsur-unsur tersebut akan muncul sebagai daya pemecah-belah (centrifugal).
Membangun visi yang sama di dalam masyarakat pluralis bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika agama menjadi unsur terkuat di dalam masyarakat pluralism tersebut. Indonesia adalah suatu bangsa yang didapati oleh berbagai-bagai ikatan primordial sebagai konsekuesi wilayahnya yang luas dan terdiri atas berbagai pulau besar dan kecil, dengan keunikan bahasa dan budayanya masing-masing.
Dalam kondisi objektif ini, semua unsur sebaiknya terlibat secara aktif mewujudkan visi bangsa yang pluralistik ialah masalah representasi. Biasanya kekuatan mayoritas memperjuangkan valeunyalebih besar di dalam visi kebangsaan, sementara kelompok-kelompok minoritas memperjuangkan unsur kebersamaan tanpa harus menonjolkan faktor representasi.
Di negara-negara Barat misalnya, value Kristen dan yahudi mencul sebagai alternative domain di dalam masyarakat civil society mereka. Value Islam di dalam masyarakat mayoritas muslim juga diperjuangkan oleh kaum intelektual komunitas tersebut.
Di Indonesia, pembentukan civil society mempunyai tiga kecendrungan. Pertama, kecendrungan untuk memperjuangkan value Islam lebih dominan sebagai kosekuensi populasi umat Isalam atau mesayarakat madani diidentikan dengan masyarakat Islam.
Kedua, kecendrungan untuk mengakomodir semua unsur yang ada dengan tetap memperhatikan unsur-unsur istimewa di dalam masyarakat. Kelompok inilah yang mempulerkan istilah “masyarakat madani” sebagai wacana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lima tahun terakhir ini.
Ketiga, kecendrungan untuk mengakui kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan final. Kelompok ini tidak memperjuangkan sebuah alternative idiologis tertentu tetapi diserahkan kepada dialektika masyarakat itu sendiri yang akan melahirkan visi secara alamiah. Faktor representasi bukan sesuau yang mutlak sedang keutuhan pluralism lebih ditekankan.
Masalah agama adalah satu faktor yang sangat sensitif di Indonesia. Ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia termasuk penganut agama yang taat. Solidaritas agama biasanya melampaui ikatan-ikatan primordial lainya, seperti ikatan kesukuan dan ikatan kekerabatan. Oleh sebab itu, penataan antarumat beragama dalam kerangka Negara Kesatuan Replubik Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus.
Cara menata kehidupan umat beragama tidak selalu menghendaki Negara, dalam ini pemerintah melakukan intervensi terhadap urusan-urusan ad hoc setiap agama, atau menetapkan sejumlah peraturan perundang-udangan yang berhubungan dengan agama. Akan tetapi yang sebenarnya diperlukan adalah Negara dan pemerintah menjadi pengayom bagi setiap agama dan para pemeluk agama tersebut.
Di samping upaya tersebutm, secara horizontal juga dibutuhkan adanya umat beragama. Salah satu upaya kea rah sana ialah bagaimana umat beragama membaca ulang kitab suci tidak dengan menekankan collectif memory yang sarat dengan prinsip menegasikan yang selalu menekankan perbedaan. Umat beragam dalam masyarkat pluralistic sudah waktunya membaca kitab suci dengan menekankan titik temu. Dengan begini, agama akan tampil sebagai sarana perekat intregasi bangsa, bukan malah menjadi faktor disintetragasi nasioanl.
Gagasan ini mengupayakan penyatuan agama. Bagaimanapun juag agama-agama tidak akan pernah mungkin disatukan. Titik berat perjuangan dalam hubunganya dengan agama, tetapi bagaimana belajar tentang perbedaan dan menerima perbedaan itu sebagai sesuatu yang fositif, yang mempunyai hikmah yang penting. Lahirnya piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan ajaran-ajaran kemanusian di masa Rasulullah, tak lain karena disemgati oleh kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang menjujung tinggi hak asasi manusia. Terutama karena Islam saat itu menjujung tinggi hak asasi manusia. Terutama karena Isalam saat itu berbeda satu komunitas yang heterogen (Yatsrib).
Dalam konteks Indonesia, yang diperlukan adalah pengayaan variasi dan sepektrum pada tingkat elemen-elemen yang memperkuat proses englihtenment, pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebut saja, NU, Muhammadiya, ICMI, LSM, dan sebagainya. Demikian pula untuk kelompok agama-agama lainnya di Indonesia.
Harus diakui bahwa pada setiap elemen-elemen ini pada nilai-nilai yang bersifat universal dan particular,. Pencerhan pada tataan visi ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kecendrungan partikularistik yang sangat berorientasi pada penguatan identitas individu atau kelompok. Padahal, dalam masyarakat komunitas universal, sehinnga komunitas menjadi indentitas akhir. Kiranya dengan denikian, agama sebagi faktor sentripetal dapat terwujud, untuk menjaga dan merawat negri tercinta ini.
Comments
Post a Comment