Oleh: Eko Rojana,S.Pd.I,M.A
Bekerja adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat mendasar. Dilhat dari berbagai sudut, seseorang yang tidak bekerja, entah laki-laki dan perempuan, apa pun alasannya, seolah-olah dianggap cacat dan menjadi bebaban sosial. Bebrbagai asumsi negatif bisa muncul terhadapa orang-orang yang tidak bekerja. Dalam bebrbagai penelitian juga membuktikan bahwa secara psikologis seseorang dalam usia proktif akan mengalami inferiority compex syndrome, kehilangan rasa percaya diri; dan dari sudut agama, orang yang tidak beramal dianggap tidak sempurna keimanannya, karena hampir setiap perintah beriman dibarengi perintah beramal.
Struktur sosial masyarakat modren kelihatannya sudah mulai menggeser teori sosial fungsional-struktaralism yang memberikan pembenaran kebahagiaan kerja secara seksual. Ayah atau suami bertugas memenuhi kebutuhan materi keluarga. Dan bukan suatu aib kalau ibu atau istri mengurus persoalan kerumahtanggaan, seperti memelihara anak-anak dan urusan keluarga lainnya.
Ketika indikator pekerjaan diukur berdasarkan nilai produktifitas dan produktivitas ditafsirkan berdasarkan pendapatan materi, maka dampaknya antara lain, setiap orang yang tidak menghasilkan nilai tambah (value added) maka dianggap tidak bekerja. Seberat apa pun pekerjaan seorang ibu rumah tangga, ia tidak dianggap bekerja dalam perpektif masyarakat kapitalis.
Perempuan yang bekerja dalam dunia publik, masih dibedakan dengan dua istilah, yaitu perempuan bekerja dan perempuan karier atau lebih popular dengan wanita karier. Pertama ditunjukan kepada perempuan yang bekerja di sektor informal sebagai buruh atau semacamnya, tidak mempunyai hak-hak inisiatif lebih besar dan semuanya ditentukan oleh para pemilik modal, termasuk di sini para pekerja seks. Yang kedua dperuntukan kepada perempuan yang memiliki profesionalisme dan hak-hak inisiatif lebih luas. Ironisnya, polarisasi seperti ini tidak pernah berlaku bagi laki-laki.
Dalam lingkungan kerja, promosi karier seorang perempuan selain harus memenuhi parsyaratan formal sebagaimana ketentuan yang berlaku, juga tersirat satu syarat implisit. Yaitu yang bersangkutan “direlakan” oleh kaum laki-laki di lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, khususnya oleh suaminya. Tidak sedikit jumlah karyawan perempuan gagal promosi kerena “persyaratkan eksternal” tersebut tidak dipenuhi.
Jika kita hendak mengkaji lebih dalam kinerja perempuan, maka ada sejumlah faktor yang perlu mendapat perhatian kita bersama, antara lain faktor, konsep keilmuan, dan faktor budaya.
Faktor Teologi
Ada tiga hal yang secara teologis sering memonjokkan perempuan. Pertama, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kedua, perempuan diciptakan untuk melengkapi keinginan dan hasrat laki-laki. Ketiga, perempuan menjadi penyebab utama dan kejatuhan manusia ke Bumi. Mereka juga menggugat penetapan dak wilyah peran yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, seperti soal warisan, perwalian, dan lain sebagainya.
Para pemerhati perempuan mulai terang-terangan menyoroti pembagian peran yang diatur di dalam kitab-kitab Fikih. Khususnya dalam bab al-ahwal al-syakhsiyyah (fikih keluarga), yang mengatur pembagian peran laki-laki dan perempuan. Hal ini bukan saja di lingkungan Islam tetapi juga di lingkungan agama lain seperti Kristen, Yahudi, dan agama-agama besar lainnya.
Kalangan ulama berpendapat bahwa Fikih adalah interprestasi secara local dan kondisional terhadap sumber-sumber ajaran Islam yang bersifat iniversal. Jika terjadi pergeseran nilai sebagai akibat perubahan sosial maka dimungkinkan reinterprestasi sumber ajaran, termasuk difungsionalisasi sejumlah Hadis yang oleh Mernissi disebut sebagai hadis-hadis misigonis.
Reinterpretasi sumber ajaran agama merupakan suatu keniscayaan, namun disadari batas-batas reinterpretasi ini sangat sensitive. Interpretasi secara liberal, mungkin maksudnya untuk meningkatkan drajat kaum perempuan tetapi, sering kali terkesan ayat-ayat ditakwilkan terlalu jauh sehingga keluar dari konteksnya. Tidak sedikit di antara usaha seperti ini menimbulkan keresahan di dalamnya masyarakat.
Untuk melakukan optimalisasi potensi dan peran karyawan professional perempuan, diperlukan presepsi yang sama tentang hal-hal yang bersifat keagamaan. Kita berharap agama tidak lagi dijadikan dalil yang mebatasi kesempatan permpuan untuk berkarier lebih tinggi.
Faktor Konsep Keilmuan
Secara antropologis perempuan seringkali digambarkan sebagai makhluk domestic dan the second sex dalam teori kinship. Seolah tidak pantas seorang perempuan menyertakan diri dengan laki-laki. Para sosialogis juga banyak mendukung dan mempertahankan teori structural fungsionalisme yang menetapkan pembagian kerja secara seksual. Laki-laki di sektor public dan perempuan di sektor domestik. Dalalam ilmu sejarah, laki-laki adalah subjek sejarah dan perempuan hanya sebagai objek. Sekan-akan yang mebuat sejarah adalah laki-laki (ingat kata history: his=kata kepunyaan untuk laki-laki dan story=peristiwa).
Dalam ilmu biologi juga terungkap berapa kontroversi. Pertanyaan mendasar yang sering muncul ialah apakah apakah faktor biologis berperan dalam tingkat kecerdasan, kesadaran, dan perilaku manusia? Apakah perbedaan perilaku laku-laki dan perempuan dapat diterangkan secara biologis, atau kultur, atau interaksi antara keduanya? Lebih luas lagi, apakah faktor biologis mempunyai efek dan menentukan dalam pembagian peran gender?
Laki-laki dan perempuan mempunyai kromosan seksual yang berbeda. Perempuan mempunyai dua kromoson sejenis, yaitu XX, karenanya disebut homogametic sex. Sedangkan laki-laki mempunyai dua kromoson berbeda; satu di antaranya sama dengan perempuan, X dan lainnya, Y khusus bagi laki-laki. Laki-laki disebut heterogametic sex karena ia mempunyai dua jenis kromosam (Y).
Sebenarnya para ahli genetic pun mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang mempunyai karakteristik tersendiri. Perkembangan kesadaran dan kecerdasan manusia tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetic tetapi juga faktor lingkungan (enevironment). Kalangan feminis menyebut diskursus ini sebagai “teka-teki hormonal” (the hormone puzzle) yang amat sulit dijelaskan. Sesuatu yang masih bersifat kontrovesi tidak tidak tepat digunakan sebagai dasar penilaian terhadap seorang.
Faktor Budaya
Kenyataan budaya di dalam masyarakat kita belum memberi tempat yang serta antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat tradisional dikenal pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan permpuan sebagai pengasuh (nurture), hal yang sama masih juga dijumpai dalam masyarakat modern.
Perempuan merasa disudutkan di ruang domestic, dengan tanggung jawab mengurus segenap urusan internal rumah tangga, termasuk mengasuh dan mendidik anak. Sedangkan laki-laki bebas menikmati udara segar di ruang public, tanpa harus terdekonsentrasi oleh urusan reproduksi. Wilayah publik bagaikan dinasti milik kaum laki-laki. Jika perempuan bermaksud mendekati wilayah ini maka mereka harus bersedia menanggung berbagai biaya dan risikonya.
Sebagai akibat dari dikotomi itu muncul istilah beban ganda (doble burden) bagi perempuan. Di satu segi dituntut untuk mengurus secara langsung urusan rumah tangga, tetapi di segi lain ditantang untuk memerankan bebarapa peran tertentu di wilayah public. Aktifnya perempuan di dunia publik didorong oleh berbagai alasan, antara lain untuk menghilangkan kebergantungan kepada suami di samping meringankan beban ekonomi keluarga.
Promosi Karier Perempuan
Adanya syarat terselubung untuk menempuh jenjang karier bagi perempuan agaknya bukan rahasia lagi. Promosi karier perempuan menuntut kemampuan ekstra di atas rata-rata laki-laki. Hal itu tidak terlepas dari stigma yeng melekat pada diri perempuan, hambatan kodrat, hambatan etika, dan lain sebagainya.
Di sejumlah perusahaan swasta besar, PNS, dunia LSM, dan beberapa institusi bisnis lainnya sudah memberikan peluang lebih terbuka kepada karyawati atau staf perempuan untuk meniti karier bersaing secara objektif bersama laki-laki. Stigma kultural tidak lagi dominan menjadi acuan dalam promosi karier. Tetapi sudah mengacu pada faktor meritokrasi, yang berdasarkan skill dan profesionalisme kinerja.
Pertimbangan jenis kelamin memang sering menjadi faktor dalam promosi karier. Sebagai contoh, sering kali ditemukan karyawan atau PNS perempuan menampilkan diri sebagai sosok yang tidak bisa diperhitungan. Misalnya, kelonggaran bagi PNS perempuan untuk meninggalkan tugas dengan alasan anak-anak atau suami yang sakit dan urusan-urusan keluarga lainnya. Ini belum termasuk cuti menstruasi, mealhirkan, dan menyusui bayinya. Sifat-sifat yang kurang pada PNS perempuan seolah-olah juga begitu mudah mendapatkan pengertian.
Memang untuk membedayakan perempuan tentu bukan dengan cara memberikan kedispilan yang sama dengan laki-laki, tetapi perlu ada pendekatan-pendekatan proposional. Melakukan mendekatkan dan keteria penilaian yang sama antara laki-laki dan perempuan, sudah barang tentu akan merugikan perempuan itu sendiri. Bagaimana mungkin menyamakan seorang perempuan yang secara kordati harus menjalani siklus reproduksi, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi.
Fungsi-fungsi krodati perempuan harus diberikan item tersendiri dalampenilaian promosi karier, dalam arti faktor-faktor tersebut jangan dijadikan faktor pengurang tetapi sebagai faktor kenyataan yang harus diterima. Hak-hak perempuan seharusnya tidak berkurang karenanya.
Salah satu jenjang yang dilalui dalam promosi karier ialah jenjang pendidikan karier. Sering kali ditemukan perempuan secara skill sangat memenuhi persyaratan terpaksa tercekal karena belum pernah memiliki jenjang pendidikan tersebut, waktu dan tempatnya ditemukan dari pusat atau dari proyek.
Perempuan yang sedang menjalankan fungsi reproduksi tersebut sering kali kesulitan untuk mengikuti jenjang pendidikan itu. Terkadang seorang perempuan merasakan lebih sulit memenuhi persyaratan jenjang pendidikan karier daripada persyaratkan yang dituntut pada sebuah pekerjaan.
Populusi perempuan begitu sulit memasuki instansi public yang produktif karena mereka merasa terhalang oleh dictum perjanjian “bersedia ditempatkan di mana saja di wilyah kepulauan Indonesia”. Setelah diterima bekerja kesulitan lain lagi muncul. Mereka akan diperhadapkan dengan system perusahaan atau kantor yang sulit ditembus. Baik system yang tertulis maupun system yang tersulibung. Itulah sebabnya, perempuan yang bisa sampai ke elson puncak amat sangat terbatas.
Untuk itu mengatasi ketimpangan ini, maka amat wajar kalau dilakukan pendekatan affirmative actions. Upaya khusus untuk memberi kesempatan kepada perempuan dalam meniti karier, di iringi dengan upaya sungguh-sungguh untuk membeikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk untuk mengakses pekerjaan.
Comments
Post a Comment