Skip to main content
Nama                      : Eko Rojana. S.pd.I.,M.A Tempat/Tgl Lahir  : Mendahara Tengah 15-03-1991 Jenis Kelamin       : Laki-Laki Alamat                   : Jl.Palembang RT/RW                    : 006 Kel/Desa                : Mendahara Tengah Kecamatan            :Mendahara Agama                   :Islam Status                     :Bakal Kawin Ayah : M.Arsyad Ibu    :Desmawati Jenjang Pendidikan: 1. SD Mendahara Tengah: 1997-2003 2. MTs Subulussalam: 2003-2006 3. MAK Albaqiatusshalihat: 2006-2009 4. S1 IAIN Bengkulu: 2009-2014 5. S2 UIN SUKA Yogyakarta: 2016-2018 Pekerjaan 1. Dosen B.Arab STIT SB Pari...

Islam dan Sosialisme Islam


Islam dan Sosialisme Islam
PENDAHULUAN
Agaknya determinisme peradaban usang ini mengarah pada satu diktum, “untuk bisa menggapai bintang, orang besar harus berdiri di atas kepala orang kecil”. Realitas yang terjadi terjadi begitu nyata terlihat, bagaimana manusia di paksa oleh sistem untuk mengakui kesalahan sebagai suatu kebiasaan yang di benarkan. Sementara kebenaran sendiri tersembunyi di balik topeng para pecundang, pemuka, dan pemegang otoritas yang memonopoli kebenaran. Keadilan semakin menjadi benda sejarah yang tidak layak lagi di pertontonkan, sementara ketimpangan dan keserakahan di usung kepermukaan dan di tonjol-tonjolkan. Politik layaknya pasar pedagang sapi yang hanya mencari keuntungan sepihak. Agama telah banyak di pelintir ke kanan-kiri, ayat-ayat Tuhan di sulap menjadi senjata-senjata kamuflase yang ampuh melegitimasi kejahatan dan kemungkran menjadi seolah-olah enak dann halal. Budaya dan seni tidak lagi hadir memberikan kesejukan bagi jiwa yang dahaga, ia telah berubah menjadi ekspresi-ekspresi bebas manusia yang menggerogoti nilai sakral seni demi uang, reputasi, dan popuralitas. Seni bukan lagi wujud keindahan altruistik, melainkan sekedar obyek hampa tanpa nilai dalam bingkai vulgaritas, ketidakbermaknaan, sensualitas, lelucon konyol, lirik-lirik murahan, dan opera-opera sabun, sebagai lambang lepasnya seni dari tanggung jawaban sosial. Ia telaah memanjakan selera mata, telinga, dan seluruh organ tubuh manusia semakin kehilangan akal sehat-bergerak di ruang hampa yang hilang kendali. Kemerdakaan telah di salahartikan menjadi kebebasan absolut, yang secara tidak disadari ia justru terjebak ke dalam penjajahan terhadap totalitas eksistensi manusia itu sendiri.
Sepertinya, umat manusia sudah kehilangan harta yang paling berharga, yaitu nurani dan akal sehat. Tapi malangnya, kehilangan tidaklah terlalu di sesalkan, karena jiwa manusia sudah jauh berubah. Cara pandang gaya hdup, kecendrungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonism” dan saudaranya, “matrealisme”.
Segala sesuatu hanya dapat di ukur oleh parameter materialistik. Pembangunan, pendidikan, kemajuan, kesejahteraan, semua di ukur dengan materialism. Bahkan dalam prateknya, kesalehan keberagamaan seseorang pun juga di ukur melalui kaca mata kuda materialism, berapa jumlah sedekah, berapa kali naik haji, berapa tempat ibadah yang berasil di bangun, semua di ukur dengan kuantitatif an sich.
Melihat fenomena tersebut, siapa yang seharusnya di persalahkan? Sepertinya kita tidak bisa menyalahkan siapapun, entah itu Negara, pejabat, penegak hukum jalanya miring, wakil rakyat main mata sama maling, ada udang dibalik batu-kepalanya batu, media saat ini seperti pujangga jahiliyah, ketika suka dengan sesuatu di puji-puji, ketika tidak senang di maki-maki, atau Tuhan sekalipun. Kita seharusnya layak menyalahkan diri sendiri, karena dalam kenyataanya diri sendirilah yang sering menjadi tanah bagi tumbuh suburnya penyakit jiwa dalam masyarakat.
Dalam konteks global saat ini, dunia ketiga layaknya Indonesia, telah di jajah habis oleh para penguasa peradaban. Kekayaan alam di keruk di balik jargon-jargon liberalism ekonomi dan perdagaangan bebas. Jiwa manusia di rampas dengan  lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan di gembor-gemborkan di balik niat busuk penghancuran dari dalam. Momok terorisme di gencarkan dibalik gelagat jahat pembataian dan permusuhan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu beradaban. Tetapi apa boleh buat, masyarakat tidak lagi memiliki apapun, kecuali hati nurani yang telah terkoyak, menyerah semua kepada Tuhan pemilik jagad, menanti keajaiban, sikap fatalistik yang diberikan untuk menahan kecaman para penindasan.
Nampaknya cita-cita para tokoh sosialis telah sirna ditelan zaman. Seandainya Nabi Muhammad (571-632) dan Karl Marx (1818-1883) masih hidup, mungkin  akan menteriakan kembali masyarakat tanpa kelas yakni kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan. Dengan fenomena tersebut penulis ingin merevitalisasi pemikiran Nabi Muhammad dan Kal Marx tentang tujuan sosialime, untuk mengingatkan kembali cita-citanya untuk mensejahterakan dari kesenjangan sosial di muka bumi  ini.

EMBIRIO SOSIALISME
Ajaran-ajaran nabi yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab perjanjian baru. Akan tetapi, ideologi sosialis modern secara esensial merupakan produk gabungan dari peristiwa Revolusi Prancis 1789 dan Revolusi di Inggris, sedangakan term sosialis sendiri pertama kali muncul dalam sebuah jurnal Inggris pada tahun 1827. Sementara itu, gerakan sosialis pertama kali muncul di Perancis setelas revolusi yang di pimpin oleh Francois Babeuf, Filippo Buonarrotti dan Louis Auguste Blanqui, pemikir lainya, Ftinne Cabet di Perancis dan Robert Owen, William Thompson di Inggris.[1]
Pada pertengahan abad ke-19, teori-teori Sosialisme berkembang dan semakin dielaborasi. Seorang pemikir sosialis berpengaruh saat itu adalah dari Jerman, Kal Marx (1818-1883),[2] bagai mana Marx muda menginginkan masyarakat tanpa kelas dan tidak ada lagi perbudakan manusia yang digambarkan kelompok yang berkuasa (bourgeois) memiliki segala faktor produksi yang dicirikan oleh model produksi kapitalis dengan mendirikan indrustri-indrustri serta mengembangkan perdagaangan bebas. Kecendrungan tersebut pada tahap berikutnya mengilhami munculnya, menurut Marx, pertumbuhan intensitas pertentangan akibat kesenjangan antara kapitalis dengan para pekerja (the proletariat), pertentangan terus yang terus berlanjut pada tahap kronis akan memicu munculnya karakter renolusioner pada pihak yang tertindas.[3]
Pemikiran Maxr muda juga di pengaruhi oleh seorang filosof idealis dan humanis Jerman, L.A. Feuerbach,[4] yang menyakini bahwa manusia, khususnya kaum pekerja, telah mengalami alienasi[5] dalam masyarakat kapitalis modern. Ia beragumen dalam tulisan pertamanya bahwa institusi kepemilikan privat pada akhirnya akan di kalahkan oleh masyarakat dan realitas (nature). Communist Manifesto (1848)[6] merupakan dokumen Marxisme paling esinsial, di tulis oleh Karl Marx bersama Engels, mengajukan sebuah generalisasi bahwa setiap sejarah tentang manusia pada dasarnya sejarah pertentangan kelas.
Begitu juga degan kelahiran Nabi Muhammad (571-632),[7] yaitu membebaskan kaum lemah dan tertindas, memproklamasikan kebenaran, dan membangun orde-orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial, dan persaudaraan. Tujuan Nabi utama Nabi masa lalu sama dengan tujuan kaum revolusiner modern, yaitu membebaskan kaum lemah dan tertindas.
Dari pemikiran sosial Kalr Marx dan dengan revolusinya Nabi Muhammad terhadap kaum yang tertindas dan memproklamasikan kebenaran, [8]
Di Indonesia H.O.S. Tjokroaminoto turut memproklamasikan hal tesebut, yakni dengan memberikan tujuan sosialime islam. Ada tiga karakter Sosialistik Islam, yaitu kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.
Kemerdekaan tiap-tiap orang silam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga, melainkan di wajibkan takut kepada Allah saja. La haula wal kuwwata illa billah (tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). Iyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan sendiri yang mintai pertolongan).
Beberapa orang Arab, tidak bisa tinggal dalam rumah yang tetap, belum pernah melihat rumah batu, dengan pakainnya yang buruk mereka dikirimkna untuk menghadap raj-raja Persia dan Roma yang berkuasa, meskipun raja-raja ini menunjukan kekuasaan dan kebebasannya, orang-orang Arab tadi tidaklah menundukkan badannya dan kelihatan tidak takut sedikitpun di muka raja-raja tadi. Sesunggunhnyalah di dunia ini tidak ada barang sesuatu yang menakutkan mereka. Mereka tidak merasa bertanggung jawab kepada apa pun juga, melainkan kepada mereka ampunya Allah yang mahasa kuasa, Maha Besar dan Maha tinggi.[9] Jauh sebelum raja-raja Persia dan Romawi itu datang ke Timur Tengah, peradaban manusia sangat memperhatikan, banyak manusia di jadikan budak-budak. Maka dari itu Islam muncul membawa sesuatu kekuatan yang membebaskan (liberating force).
Memerdekan seorang budak dari kesewenangan tuanya di nilai sebagai perjuangan suci, sama halnya dengan memperdulikan nasib kaum miskin dan anak-anak terlantar yang minus akan kasih kasyang.
Kemerdakaan dinisbatkan pada kebebasan kepada manusia untuk untuk memilih jalan hidupnya. Kebebasan dari segala bentuk ekploitasi dan penindasan oleh sekelompok manusia atas manusia lain. [10]

PANDANGAN KARL MARX TERHADAP AGAMA
Menurut Marx atas Agama hanya berisi ajaran kepada masyarakat utuk menjustifikasi penindasan kaum borjuis dan menerima takdir untuk tunduk pada penguasa otokratik. Agama mencetak manusia yang tidak tahan menghadapi penderitaan dan bahaya yang mengepung dari segala penjuru, melainkan hanya dengan cara-cara negative. Karl Marx memandang agama sebagai afion (relgion is the opium), yang membiaus manusia dari segala perasaan kemanusiaanya, dan mengajarinya cara-cara berlindung kepada kekuatan ghaib untuk melawan kelaliman, serta menganjurkan umatnya untuk hidup bertasawuf agar dapat menolak bencana dan penderitaan secara mudah.
Agama membius kaum fakir miskin dan kaum buruh yang hidupnya penuh penderitaan oleh karena ajaran untuk menerima takdir terhadap apa yang ada serta menghibur mereka dengan janji-janji yang akan di terimanya di syurga berupa kenikmatan kemuliaan dan kesejahteraan. Adapun orang-orang yang kehidupannya di dapatkan dari hasil keringat kaum fakir miskin, maka agama mengajari kepadanya agar hidup darmawan sehingga praktek kelaliman masih akan berlangsung dan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk masuk syurga.
Bagi marx, Agama di nilai syarat pemutarbalikan peradaban. Untuk menekan agama yang hanya memberikan kebahagian yang semu, haruslah di berikan tuntunan kebahagiaan yang sejati. Agama adalah satu aspek tekanan jiwa. Pengakuan yang lebih jelas oleh Marx demikian, “Agama adalah keluh kesah makhluk tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu rakyat.”
Marx mengakui bahwa kritik terhadap agama merupakan premis bagi semua kritik:
“menghapuskan agama sebagai kebahagian manusia yang bersifat impian, adalah tuntunan manusia bagi kebahagiaan sebenarnya. Tuntunan untuk meninggal kan impian mengenai kondisi mereka yang sebenarnya merupakan suatu tuntuntan untuk meninggalkan suatu kondisi yang memerlukan impian-impian, sedangkan agama merupakan lingkaran cahaya kekeramatan.
Padangan Marx tentang agama tersebut sebenarnya juga tidak terlepas dari hasil pengamatanya terhadap agama (dalam hal ini lingkungan keagamaan yang menjadi obyek pengamatan Marx adalah kaum gerejani). Sebagai mana pengalaman pahit yang terlihat Marx selama hidupnya, bahwa penindasan dan penghisapan merajalela, sedangkan agama tidak berdaya sama sekali untuk menghapuskanya. Bahkan keluarga Marx sendiri adalah bagian dari korban ketidakberdayaan institusi agama dalam kemegahan kapitalisme. Sehingga Marx sampai pada kesimpulan, bahwa semua agama demikian adanya.[11]
Melihat pandangan Marx tentang agama sangat pesimis pada saat itu, agama tidak mampu berbuat apapun sedangkan kapitalis merongrong kaum yang tertindas.
Nabi Muhammad SAW membatah perktaan Karl Marx tentang agama, bahwa agama tidak berdaya untuk membebaskan penindasan terhadap kaum lemah, bahwa agama hanya memberikan kebahagian semu semata. Tiga belas abad sebelum Marx, Nabi Muhammad SAW datang dengan membawa misi pembebasan terhadap kaum-kaum tertindas, Agama Islam memberikan kritik mendasar pada sistem ekonomi yang di jalankan oleh kaum Quraisy Mekah yang timpang dan kapitalistik. Meminjam bahasa Marx, sebenarnya Islam telah menyediakan basis bagi hadirnya sebuah revolusi, yaitu undur fasif dasar material. Isalm menemukan senjatanya pada kaum tertindas sedangkan kaum tertindas menemukan inspirasinya dalam berbagai ayat al-Qur’an dan perkataan Nabi Muhammad SAW dalam Sunnah[12]-nya.
Muhammad hadir di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang di bawakanya, lebih dari itu ia memobilisasi dan memipin untuk melawan ketimpangan sosial. Dalam iklim masyarakat yang kapitalistik-eksploistatif, Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang untuk menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang sahabat sosialistik Islam  yang di rintis oleh sang Nabi dengan menyuarakan pemerataan sumber-sumber kepemilikan bersama.[13]

DASAR SOSIALIME ISLAM
Kaana nasu ummatan wahidan
ISLAM DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Sebagi mana kapitalisme, Islam secara normal mengakui kebebasan berusaha dengan lembaga kepemilikan pribadi, system pemasaran dan keuntungan. Akan tetapi ia berada dengan kapitalisme, karena hak milik dalam Islam bukan seluruhnya, baik dalam esensi maupun materi milik pribadi. Ada sebagian harta yang menjadi hak golongan masyarakat lain sebagai manifestasi tanggung jawab sosial, yaitu golongan lemah yang membutuhkan (mustadz’afin). Prinsip tersebut dikenal dalam Islam melalui mekanisme zakat, sedekah, dan infaq. Dengan cara pandang demikian Islam mensyari’atkan kepemilikan pribadi tidak semata-mata di gunakan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga harus berfungsi sosial. Kepemilikan tidak hanya bergulir dalam rotasi kelompok kaya dan pemilik modal saja, tetapi alur distribusinya juga harus merambah ke kalangan miskin dan lemah. Kecendrungan monopolistic dan kapitalistik tidak di benarkan dalam Islam karena hal itu akan berimplikasi pada perampasan hak orang-orang miskin, seperti menumpuk harta, kikir, dan penguasaan sumber ekonomi oleh kelompok kecil masyarakat.
Dalam Islam, terjadinya praktek penindasan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, termasuk penindasan itu. Dalam mencapai perubahan sosial, al-Qur’an sendiri tidak membangkitkan kesadaran kelas, tetapi kesadaran humanistic yang berdiri diatas egalitarianisme. Oleh sebab itu baik penindas maupun tertindas sama-sama bertanggung jawab atas praktek-praktek sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena organisasi dan kekuasaan. Jika hal tersebut terjadi, di khawatirkan status quo penindasan akan terus berjalan dan kaum tertindas akan kedalam rekayasa para penindas.

Refleksi:
kapitalisme, Moderenisme, Marxisme, dan Eksistensialisme  saat ini hadir dengan wajah yang baru, dia hadir di institusi pembangunan, pendidikan, keamjuan, kesejahteraan semua diukur dengan materaisleme. Bahkan semua itu sebagai lahan basah untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini menjadi momok terhadap orang-orang miskin saat ini, mereka tidak berdaya dan tidak mampu berbuat banyak dengan keadaan, Siapa yang patut di salahkan? Seprtinya kita tidak bisa menyalahkan siapapun, entah itu Negara, pejabat, penegak hukum, pak polisi, atau Tuhan sekalipun. Kita layak melayahkan diri sendiri, karena dalam kenyataanya diri sendirilah yang sering menjadi tanah bagi tumbuh penyakit jiwa dalam masyarakat.
Untuk menghilangkan penyakit jiwa tersebut, Islam memberikan solusi dengan cara memberikan ajaran rukun Islam yang keseluruhanya nerupakan konstruksi terpadu dalam meletakan landasan sosialistik Islam.
Pertama, Syahadat adalah pernyataan ketundukan manusia hanya kepada Tuhan, dengan menisbatkan segala bentuk kekuasaan dan otoritas selain-Nya, pandangan ini di sebut sebgai tawhid. Dengan tawhid itulah demensi pembebasan dalam masyarakat tercipta, d mana segala bentuk dominasi dan disparitas kelas-kelas sosial di hapuskan diganti dengan persamaan di hadapan Tuhan.
Kedua, Shalat sebagai tiang Islam mendidik manusia untuk menghadap seiring dalam satu gerak alam yang tersental kea rah rumah Tuhan, Ka’bah. Shalat mengajarkan manusia sebuah kebersamaan dalam persaudaraan, kedudukan sejajar dengan alas yang sama, cara peribadatan yang sama, dan derajat yang sama di Rumah Tuhan. Munculnya kesadaran bahwa saundara-saudara seiman juga berbuat demikian menciptakan suatu perasaan keikutsertaan dalam lingkungan persaudaraan sejagad.
Ketiga, Zakat sebagai manifestasi penyucian harta, adalah wujud kepedulian terhadap sesame dengan menyisihkan sebagian harta untuk kaum lemah dan kekurangan. Islam tidak menetang hasrat pribadi untuk memperoleh keuntungan ataupun adanya persaingan ekonomi. Apa yang di kehendaki Islam sebenarnya sederhana, yaitu hasrat untuk memperoleh kekayaan oleh individu harus di imbangi denaga kejujuran dan belas kasihan. Kehadiran zakat merupakan sarana Isalam yang paling dasr untuk melembagakan keprihatinan terhadap nasib orang orang lain. Dengan zakat kaum muslimn mengemban kewajiban kolektif untuk mendistribusikan kekayaanya secara adil dan menata bagi seluruh masyarakat. Megenai mekanisme distribusi kekayaan dalam islam ini, Huston Smith mengomentari:
“ atas ini merupakan asas yang baru dalam abad ke-20 yang dicapai oleh demokrasi dengan konsepnya tentang Negara persemakmuran. Akan tetapi jauh sebelum itu Muhammad telah melembagakannya sejak abad ke-7 dengan menetapkan suatu pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin”.[14]
Keempat, Puasa adalah bentuk empaty yang ditunjukan kepada kaum lemah dan miskin untuk ikut merasakan kepedihan di atas penderitaan dalam segala penegakan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasariah manusia. Puasa akan memperhalus rasa kasih saying kepada sesame manusia akan Tuhan.
Kelima, Haji sebuah prosesi peribadatan terakbar bagi kaum muslim sedunia untuk berpadu menganggunkan Tuhan dan berziarah kerumah-rumah-Nya. Haji adlah cerminan persaudaraan seluruh umat muslim sejagad, ekpresi persamaan derajad antara manusia dengan manusia yang lain di belahan bumi manapun.

KESIMPULAN
Tujuan Sosialisme Islam:
Kemerdakaan dinisbatkan pada kebebasan kepada manusia untuk untuk memilih jalan hidupnya. Kebebasan dari segala bentuk ekploitasi dan penindasan oleh sekelompok manusia atas manusia lain. Hal ini berarti bahwa segala bentuk penjajahan dan perampasan hak sama sekali tidak mendapatkan justifikasi dalam Islam. Dalam konteks historis, kehadiran Islam senantiasa menentang segala bentuk perbudakan dan eksploitasi manusia atas manusia lain yang merambak dalam dalam masyarakat. Islam membawa suatu kekuatan yang membebaskan (lebereating force). Memerdekan seorang budak dari kesewenangan tuanya di nilai sebagai perjuangan suci, sama halnya dengan memperdulikan nasib kaum miskin dan anak-anak terlantar yang minus akan kasih kasyang.
Persamaan bersumber pada nihilnya dominasi manusia atau manusia yang lain, persamaan kedudukan di hadapan Tuhan, serta tidak berlakunya kelas-kelas sosial maupun kelebihan satu golongan manusia berdasarkan atribut-atribut, suku, ras, jabatan, maupun kekayaan. Kesatuan sosial dalam Islam ini di dasarkan atas tawhid itulah Islam menghapuskan disparitas ekonomi, etnis, ras, dan status sosial.
Sedangkan persaudaraan merupakan manifestasi dari konsep ukhuwwah yang mempromosikan persaudaraan dalam konsep Islam di dasarkan pada kesadaran humanistic bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa kontribusi mahkluk lain. Dengan demikian, keterikatan antar manusia adalah konsepsi yang meladasi hubungan timbal balik dalam solidaritas dan persaudaraan. Ilustrasi metaforis yang menunjukan konsep persaudaraan dalam Isalam adalah sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW, bahwa hubungan seorang individu sebagian merasakan penderitaan maka bagian tubuh yang lain menujukan solidaritasnya.[15]













Daftar Pustaka
Supriadi, eko, Sosialisme Islam. RausyanFikr: Yogyakarta, 2010.
Noer, deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat Rajawali: Jakarta, 1985
Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam LESFI: Yogyakarta, 2002
Smith, huston, Agama-Agama Manusia Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1985
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme SEGA ARSY: Bandung, 2006
Ramadhan, Syamsudin, Koreksi Total Sosialisme-Komunisme Marhaenisme Al Azhar Press:         Bogor, 2001


[1] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 7.
[2] Marx (Karl Heinrich Marx) lahir pada tahun 1818 di Trier (Traves) Jerman dari keluarga Yahudi, adalah seorang ahli ekonomi  Jerman, filusuf, dan revolusionis. Ia belajar sejarah, hukum dan filsafat di Bonn, Berlin dan Jena kemudian memperoleh gelar doctoral pada tahun 1841. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Berlin, Marx muda di pengaruhi pemikiran G.W.F Hegel dan pengikut Hegelian muda radikal yang kemudian pengalaman tersebut mempengaruhi pemikiranya tentang Sosisalisme. Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Rajawali: Jakarta, 1985). Hal. 149-150.
[3] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 9.
[4] Luwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filososf Jerman. Dalam karyanya yang berjudul The Esence of Christianity, ia menulis tentang analisis kritis atas kepercayaan terhadapa agama (dalam konteks ini agama yang menjadi obyek kajian adalah agama kristen) dan kontribusinya tentang konsep materialism. Sebagai thesis yang dikemukakan sebelem Hegel tentang konsep alienasi, Feuerbach menegakan sebuah analisis bahwa pemikiran manusia adalah hasil interprestasi atas segala realitas. Berangkat dari idealism tersebut kemudian Feuerbach melakukan kritik terhadp keberadaan agama. Menurutnya Tuhan dan sebuah alasan absolut hanyalah proyeksi atas pemikiran manusia, sehingga agama, menurut Feyerbach, mengiring manusia pemeluknya kepada keterasingan dari dirinya sendiri. Dari ide dasar ini Karl Marx membangun sebuah teori alienasi. Teori tersebut merupakan hasil dari interpretasi Marx terhadap nasib kaum buruh yang terasing dari beragam faktor, baik dari produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh itu sendiri maupun terasing dari lingkungan luarnya. Lihat Syamsudin Ramadhan, Koreksi Total Sosialisme-Komunisme Marhaenisme (Al Azhar Press: Bogor, 2001), hal. 20.
[5] Alienasi merupakan bentuk hubungan di mana individu terasing darinya. Seorang buruh di deskripsikan sebagaimana barang yang dijual. Ia telah menjual tenaga, keahlian, dan waktunya kepada para pemilik modal atau majikan. Ia menjual sebagian besar hidupnya untuk orang lain yang menguasai buruh, hingga buruh tidak punya arti diri sebagai manusia seutuhnya. Lihat Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 84-85.
[6] Communist Manifesto (1848), dibakukan sebagai platform pernyataan bersama pada sebuah partai pekerja internasional, The Communis League, dan diumumkan selama revolusi Eropa 1848. Lihat Year 2000 Grolier Multimedia Encyclopedia, opcit dalam pokok bahasan “Communist Manifesto”.  
[7] Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam (LESFI: Yogyakarta, 2002), hal. 21.
[8] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 87.
[9] HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (SEGA ARSY: Bandung, 2006), hal. 46-47.
[10] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 132-133.
[11] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 97-99.
[12] Sunnah (hadits) adalah seluruh perkataan, tindakan, maupun sikap Nabi Muhammad, di mana ia menjadi satu sumber dasar hukum bagi agama Islam selain al-Qur’an
[13]Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 112.
[14] Lihat Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1985), hal. 281.
[15] Eko supriadi, Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 132-133.

Comments

Popular posts from this blog

Dampak Penggunaan Artificial Intelligence (AI) Terhadap Mahasiswa