Nama : Eko Rojana. S.pd.I.,M.A Tempat/Tgl Lahir : Mendahara Tengah 15-03-1991 Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat : Jl.Palembang RT/RW : 006 Kel/Desa : Mendahara Tengah Kecamatan :Mendahara Agama :Islam Status :Bakal Kawin Ayah : M.Arsyad Ibu :Desmawati Jenjang Pendidikan: 1. SD Mendahara Tengah: 1997-2003 2. MTs Subulussalam: 2003-2006 3. MAK Albaqiatusshalihat: 2006-2009 4. S1 IAIN Bengkulu: 2009-2014 5. S2 UIN SUKA Yogyakarta: 2016-2018 Pekerjaan 1. Dosen B.Arab STIT SB Pari...
Islam dan Sosialisme Islam
PENDAHULUAN
Agaknya
determinisme peradaban usang ini mengarah pada satu diktum, “untuk bisa
menggapai bintang, orang besar harus berdiri di atas kepala orang kecil”.
Realitas yang terjadi terjadi begitu nyata terlihat, bagaimana manusia di paksa
oleh sistem untuk mengakui kesalahan sebagai suatu kebiasaan yang di benarkan.
Sementara kebenaran sendiri tersembunyi di balik topeng para pecundang, pemuka,
dan pemegang otoritas yang memonopoli kebenaran. Keadilan semakin menjadi benda
sejarah yang tidak layak lagi di pertontonkan, sementara ketimpangan dan
keserakahan di usung kepermukaan dan di tonjol-tonjolkan. Politik layaknya
pasar pedagang sapi yang hanya mencari keuntungan sepihak. Agama telah banyak
di pelintir ke kanan-kiri, ayat-ayat Tuhan di sulap menjadi senjata-senjata
kamuflase yang ampuh melegitimasi kejahatan dan kemungkran menjadi seolah-olah
enak dann halal. Budaya dan seni tidak lagi hadir memberikan kesejukan bagi
jiwa yang dahaga, ia telah berubah menjadi ekspresi-ekspresi bebas manusia yang
menggerogoti nilai sakral seni demi uang, reputasi, dan popuralitas. Seni bukan
lagi wujud keindahan altruistik, melainkan sekedar obyek hampa tanpa nilai
dalam bingkai vulgaritas, ketidakbermaknaan, sensualitas, lelucon konyol,
lirik-lirik murahan, dan opera-opera sabun, sebagai lambang lepasnya seni dari
tanggung jawaban sosial. Ia telaah memanjakan selera mata, telinga, dan seluruh
organ tubuh manusia semakin kehilangan akal sehat-bergerak di ruang hampa yang
hilang kendali. Kemerdakaan telah di salahartikan menjadi kebebasan absolut,
yang secara tidak disadari ia justru terjebak ke dalam penjajahan terhadap
totalitas eksistensi manusia itu sendiri.
Sepertinya,
umat manusia sudah kehilangan harta yang paling berharga, yaitu nurani dan akal
sehat. Tapi malangnya, kehilangan tidaklah terlalu di sesalkan, karena jiwa
manusia sudah jauh berubah. Cara pandang gaya hdup, kecendrungan berfikir,
pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonism” dan
saudaranya, “matrealisme”.
Segala sesuatu hanya
dapat di ukur oleh parameter materialistik. Pembangunan, pendidikan, kemajuan,
kesejahteraan, semua di ukur dengan materialism. Bahkan dalam prateknya,
kesalehan keberagamaan seseorang pun juga di ukur melalui kaca mata kuda
materialism, berapa jumlah sedekah, berapa kali naik haji, berapa tempat ibadah
yang berasil di bangun, semua di ukur dengan kuantitatif an sich.
Melihat fenomena
tersebut, siapa yang seharusnya di persalahkan? Sepertinya kita tidak bisa
menyalahkan siapapun, entah itu Negara, pejabat, penegak hukum jalanya miring,
wakil rakyat main mata sama maling, ada udang dibalik batu-kepalanya batu,
media saat ini seperti pujangga jahiliyah, ketika suka dengan sesuatu di
puji-puji, ketika tidak senang di maki-maki, atau Tuhan sekalipun. Kita seharusnya
layak menyalahkan diri sendiri, karena dalam kenyataanya diri sendirilah yang
sering menjadi tanah bagi tumbuh suburnya penyakit jiwa dalam masyarakat.
Dalam
konteks global saat ini, dunia ketiga layaknya Indonesia, telah di jajah habis
oleh para penguasa peradaban. Kekayaan alam di keruk di balik jargon-jargon
liberalism ekonomi dan perdagaangan bebas. Jiwa manusia di rampas dengan lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan,
dan HAM. Slogan kebebasan di gembor-gemborkan di balik niat busuk penghancuran
dari dalam. Momok terorisme di gencarkan dibalik gelagat jahat pembataian dan
permusuhan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu beradaban. Tetapi apa
boleh buat, masyarakat tidak lagi memiliki apapun, kecuali hati nurani yang
telah terkoyak, menyerah semua kepada Tuhan pemilik jagad, menanti keajaiban,
sikap fatalistik yang diberikan untuk menahan kecaman para penindasan.
Nampaknya
cita-cita para tokoh sosialis telah sirna ditelan zaman. Seandainya Nabi
Muhammad (571-632) dan Karl Marx (1818-1883) masih hidup, mungkin akan menteriakan kembali masyarakat tanpa
kelas yakni kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan. Dengan fenomena tersebut
penulis ingin merevitalisasi pemikiran Nabi Muhammad dan Kal Marx tentang tujuan
sosialime, untuk mengingatkan kembali cita-citanya untuk mensejahterakan dari
kesenjangan sosial di muka bumi ini.
EMBIRIO SOSIALISME
Ajaran-ajaran
nabi yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab perjanjian baru. Akan tetapi,
ideologi sosialis modern secara esensial merupakan produk gabungan dari
peristiwa Revolusi Prancis 1789 dan Revolusi di Inggris, sedangakan term
sosialis sendiri pertama kali muncul dalam sebuah jurnal Inggris pada tahun
1827. Sementara itu, gerakan sosialis pertama kali muncul di Perancis setelas
revolusi yang di pimpin oleh Francois Babeuf, Filippo Buonarrotti dan Louis
Auguste Blanqui, pemikir lainya, Ftinne Cabet di Perancis dan Robert Owen,
William Thompson di Inggris.[1]
Pada
pertengahan abad ke-19, teori-teori Sosialisme berkembang dan semakin
dielaborasi. Seorang pemikir sosialis berpengaruh saat itu adalah dari Jerman,
Kal Marx (1818-1883),[2]
bagai mana Marx muda menginginkan masyarakat tanpa kelas dan tidak ada lagi
perbudakan manusia yang digambarkan kelompok yang berkuasa (bourgeois) memiliki
segala faktor produksi yang dicirikan oleh model produksi kapitalis dengan
mendirikan indrustri-indrustri serta mengembangkan perdagaangan bebas.
Kecendrungan tersebut pada tahap berikutnya mengilhami munculnya, menurut Marx,
pertumbuhan intensitas pertentangan akibat kesenjangan antara kapitalis dengan
para pekerja (the proletariat), pertentangan terus yang terus berlanjut pada
tahap kronis akan memicu munculnya karakter renolusioner pada pihak yang
tertindas.[3]
Pemikiran
Maxr muda juga di pengaruhi oleh seorang filosof idealis dan humanis Jerman,
L.A. Feuerbach,[4]
yang menyakini bahwa manusia, khususnya kaum pekerja, telah mengalami alienasi[5]
dalam masyarakat kapitalis modern. Ia beragumen dalam tulisan pertamanya bahwa
institusi kepemilikan privat pada akhirnya akan di kalahkan oleh masyarakat dan
realitas (nature). Communist Manifesto (1848)[6]
merupakan dokumen Marxisme paling esinsial, di tulis oleh Karl Marx bersama
Engels, mengajukan sebuah generalisasi bahwa setiap sejarah tentang manusia
pada dasarnya sejarah pertentangan kelas.
Begitu juga degan kelahiran
Nabi Muhammad (571-632),[7]
yaitu membebaskan kaum lemah dan tertindas, memproklamasikan kebenaran, dan
membangun orde-orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial, dan
persaudaraan. Tujuan Nabi utama Nabi masa lalu sama dengan tujuan kaum
revolusiner modern, yaitu membebaskan kaum lemah dan tertindas.
Dari pemikiran sosial
Kalr Marx dan dengan revolusinya Nabi Muhammad terhadap kaum yang tertindas dan
memproklamasikan kebenaran, [8]
Di
Indonesia H.O.S. Tjokroaminoto turut memproklamasikan hal tesebut, yakni dengan
memberikan tujuan sosialime islam. Ada tiga karakter Sosialistik Islam, yaitu
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.
Kemerdekaan
tiap-tiap
orang silam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga, melainkan di
wajibkan takut kepada Allah saja. La haula wal kuwwata illa billah (tidak ada
pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). Iyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in (hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan
sendiri yang mintai pertolongan).
Beberapa
orang Arab, tidak bisa tinggal dalam rumah yang tetap, belum pernah melihat
rumah batu, dengan pakainnya yang buruk mereka dikirimkna untuk menghadap raj-raja
Persia dan Roma yang berkuasa, meskipun raja-raja ini menunjukan kekuasaan dan
kebebasannya, orang-orang Arab tadi tidaklah menundukkan badannya dan kelihatan
tidak takut sedikitpun di muka raja-raja tadi. Sesunggunhnyalah di dunia ini
tidak ada barang sesuatu yang menakutkan mereka. Mereka tidak merasa
bertanggung jawab kepada apa pun juga, melainkan kepada mereka ampunya Allah
yang mahasa kuasa, Maha Besar dan Maha tinggi.[9]
Jauh sebelum raja-raja Persia dan Romawi itu datang ke Timur Tengah, peradaban
manusia sangat memperhatikan, banyak manusia di jadikan budak-budak. Maka dari
itu Islam muncul membawa sesuatu kekuatan yang membebaskan (liberating force).
Memerdekan
seorang budak dari kesewenangan tuanya di nilai sebagai perjuangan suci, sama
halnya dengan memperdulikan nasib kaum miskin dan anak-anak terlantar yang
minus akan kasih kasyang.
Kemerdakaan
dinisbatkan pada kebebasan kepada manusia untuk untuk memilih jalan hidupnya.
Kebebasan dari segala bentuk ekploitasi dan penindasan oleh sekelompok manusia
atas manusia lain. [10]
PANDANGAN KARL MARX
TERHADAP AGAMA
Menurut
Marx atas Agama hanya berisi ajaran kepada masyarakat utuk menjustifikasi
penindasan kaum borjuis dan menerima takdir untuk tunduk pada penguasa
otokratik. Agama mencetak manusia yang tidak tahan menghadapi penderitaan dan
bahaya yang mengepung dari segala penjuru, melainkan hanya dengan cara-cara
negative. Karl Marx memandang agama sebagai afion (relgion is the opium), yang
membiaus manusia dari segala perasaan kemanusiaanya, dan mengajarinya cara-cara
berlindung kepada kekuatan ghaib untuk melawan kelaliman, serta menganjurkan
umatnya untuk hidup bertasawuf agar dapat menolak bencana dan penderitaan
secara mudah.
Agama
membius kaum fakir miskin dan kaum buruh yang hidupnya penuh penderitaan oleh
karena ajaran untuk menerima takdir terhadap apa yang ada serta menghibur
mereka dengan janji-janji yang akan di terimanya di syurga berupa kenikmatan
kemuliaan dan kesejahteraan. Adapun orang-orang yang kehidupannya di dapatkan
dari hasil keringat kaum fakir miskin, maka agama mengajari kepadanya agar
hidup darmawan sehingga praktek kelaliman masih akan berlangsung dan tidak
menjadi penghalang bagi mereka untuk masuk syurga.
Bagi
marx, Agama di nilai syarat pemutarbalikan peradaban. Untuk menekan agama yang
hanya memberikan kebahagian yang semu, haruslah di berikan tuntunan kebahagiaan
yang sejati. Agama adalah satu aspek tekanan jiwa. Pengakuan yang lebih jelas
oleh Marx demikian, “Agama adalah keluh kesah makhluk tepat sebagaimana ia
adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu rakyat.”
Marx
mengakui bahwa kritik terhadap agama merupakan premis bagi semua kritik:
“menghapuskan agama
sebagai kebahagian manusia yang bersifat impian, adalah tuntunan manusia bagi
kebahagiaan sebenarnya. Tuntunan untuk meninggal kan impian mengenai kondisi
mereka yang sebenarnya merupakan suatu tuntuntan untuk meninggalkan suatu
kondisi yang memerlukan impian-impian, sedangkan agama merupakan lingkaran
cahaya kekeramatan.
Padangan
Marx tentang agama tersebut sebenarnya juga tidak terlepas dari hasil
pengamatanya terhadap agama (dalam hal ini lingkungan keagamaan yang menjadi
obyek pengamatan Marx adalah kaum gerejani). Sebagai mana pengalaman pahit yang
terlihat Marx selama hidupnya, bahwa penindasan dan penghisapan merajalela,
sedangkan agama tidak berdaya sama sekali untuk menghapuskanya. Bahkan keluarga
Marx sendiri adalah bagian dari korban ketidakberdayaan institusi agama dalam
kemegahan kapitalisme. Sehingga Marx sampai pada kesimpulan, bahwa semua agama
demikian adanya.[11]
Melihat
pandangan Marx tentang agama sangat pesimis pada saat itu, agama tidak mampu
berbuat apapun sedangkan kapitalis merongrong kaum yang tertindas.
Nabi Muhammad SAW
membatah perktaan Karl Marx tentang agama, bahwa agama tidak berdaya untuk
membebaskan penindasan terhadap kaum lemah, bahwa agama hanya memberikan
kebahagian semu semata. Tiga belas abad sebelum Marx, Nabi Muhammad SAW datang
dengan membawa misi pembebasan terhadap kaum-kaum tertindas, Agama Islam
memberikan kritik mendasar pada sistem ekonomi yang di jalankan oleh kaum
Quraisy Mekah yang timpang dan kapitalistik. Meminjam bahasa Marx, sebenarnya
Islam telah menyediakan basis bagi hadirnya sebuah revolusi, yaitu undur fasif
dasar material. Isalm menemukan senjatanya pada kaum tertindas sedangkan kaum
tertindas menemukan inspirasinya dalam berbagai ayat al-Qur’an dan perkataan
Nabi Muhammad SAW dalam Sunnah[12]-nya.
Muhammad
hadir di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan
atas wahyu yang di bawakanya, lebih dari itu ia memobilisasi dan memipin untuk
melawan ketimpangan sosial. Dalam iklim masyarakat yang
kapitalistik-eksploistatif, Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas
berjuang untuk menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Abu Dzar
al-Ghifari, salah seorang sahabat sosialistik Islam yang di rintis oleh sang Nabi dengan
menyuarakan pemerataan sumber-sumber kepemilikan bersama.[13]
DASAR SOSIALIME ISLAM
Kaana nasu ummatan
wahidan
ISLAM DAN TANGGUNG
JAWAB SOSIAL
Sebagi
mana kapitalisme, Islam secara normal mengakui kebebasan berusaha dengan
lembaga kepemilikan pribadi, system pemasaran dan keuntungan. Akan tetapi ia
berada dengan kapitalisme, karena hak milik dalam Islam bukan seluruhnya, baik
dalam esensi maupun materi milik pribadi. Ada sebagian harta yang menjadi hak
golongan masyarakat lain sebagai manifestasi tanggung jawab sosial, yaitu
golongan lemah yang membutuhkan (mustadz’afin). Prinsip tersebut dikenal dalam
Islam melalui mekanisme zakat, sedekah, dan infaq. Dengan cara pandang demikian
Islam mensyari’atkan kepemilikan pribadi tidak semata-mata di gunakan untuk
memenuhi kebutuhan, melainkan juga harus berfungsi sosial. Kepemilikan tidak
hanya bergulir dalam rotasi kelompok kaya dan pemilik modal saja, tetapi alur
distribusinya juga harus merambah ke kalangan miskin dan lemah. Kecendrungan
monopolistic dan kapitalistik tidak di benarkan dalam Islam karena hal itu akan
berimplikasi pada perampasan hak orang-orang miskin, seperti menumpuk harta,
kikir, dan penguasaan sumber ekonomi oleh kelompok kecil masyarakat.
Dalam Islam,
terjadinya praktek penindasan merupakan tanggung jawab seluruh komponen
masyarakat, termasuk penindasan itu. Dalam mencapai perubahan sosial, al-Qur’an
sendiri tidak membangkitkan kesadaran kelas, tetapi kesadaran humanistic yang
berdiri diatas egalitarianisme. Oleh sebab itu baik penindas maupun tertindas sama-sama
bertanggung jawab atas praktek-praktek sistem yang tidak adil. Penindas
bersalah karena organisasi dan kekuasaan. Jika hal tersebut terjadi, di
khawatirkan status quo penindasan akan terus berjalan dan kaum tertindas
akan kedalam rekayasa para penindas.
Refleksi:
kapitalisme,
Moderenisme, Marxisme, dan Eksistensialisme saat ini hadir dengan wajah yang baru, dia
hadir di institusi pembangunan, pendidikan, keamjuan, kesejahteraan semua
diukur dengan materaisleme. Bahkan semua itu sebagai lahan basah untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini menjadi momok terhadap orang-orang
miskin saat ini, mereka tidak berdaya dan tidak mampu berbuat banyak dengan
keadaan, Siapa yang patut di salahkan? Seprtinya kita tidak bisa menyalahkan
siapapun, entah itu Negara, pejabat, penegak hukum, pak polisi, atau Tuhan
sekalipun. Kita layak melayahkan diri sendiri, karena dalam kenyataanya diri
sendirilah yang sering menjadi tanah bagi tumbuh penyakit jiwa dalam
masyarakat.
Untuk
menghilangkan penyakit jiwa tersebut, Islam memberikan solusi dengan cara
memberikan ajaran rukun Islam yang keseluruhanya nerupakan konstruksi terpadu
dalam meletakan landasan sosialistik Islam.
Pertama, Syahadat
adalah pernyataan ketundukan manusia hanya kepada Tuhan, dengan menisbatkan
segala bentuk kekuasaan dan otoritas selain-Nya, pandangan ini di sebut sebgai tawhid.
Dengan tawhid itulah demensi pembebasan dalam masyarakat tercipta, d mana
segala bentuk dominasi dan disparitas kelas-kelas sosial di hapuskan diganti
dengan persamaan di hadapan Tuhan.
Kedua,
Shalat sebagai tiang Islam mendidik manusia untuk menghadap seiring dalam satu
gerak alam yang tersental kea rah rumah Tuhan, Ka’bah. Shalat mengajarkan
manusia sebuah kebersamaan dalam persaudaraan, kedudukan sejajar dengan alas
yang sama, cara peribadatan yang sama, dan derajat yang sama di Rumah Tuhan.
Munculnya kesadaran bahwa saundara-saudara seiman juga berbuat demikian
menciptakan suatu perasaan keikutsertaan dalam lingkungan persaudaraan sejagad.
Ketiga,
Zakat sebagai manifestasi penyucian harta, adalah wujud kepedulian terhadap
sesame dengan menyisihkan sebagian harta untuk kaum lemah dan kekurangan. Islam
tidak menetang hasrat pribadi untuk memperoleh keuntungan ataupun adanya
persaingan ekonomi. Apa yang di kehendaki Islam sebenarnya sederhana, yaitu
hasrat untuk memperoleh kekayaan oleh individu harus di imbangi denaga
kejujuran dan belas kasihan. Kehadiran zakat merupakan sarana Isalam yang
paling dasr untuk melembagakan keprihatinan terhadap nasib orang orang lain.
Dengan zakat kaum muslimn mengemban kewajiban kolektif untuk mendistribusikan
kekayaanya secara adil dan menata bagi seluruh masyarakat. Megenai mekanisme
distribusi kekayaan dalam islam ini, Huston Smith mengomentari:
“ atas ini merupakan
asas yang baru dalam abad ke-20 yang dicapai oleh demokrasi dengan konsepnya
tentang Negara persemakmuran. Akan tetapi jauh sebelum itu Muhammad telah
melembagakannya sejak abad ke-7 dengan menetapkan suatu pajak bertingkat bagi
mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin”.[14]
Keempat,
Puasa adalah bentuk empaty yang ditunjukan kepada kaum lemah dan miskin
untuk ikut merasakan kepedihan di atas penderitaan dalam segala penegakan
terhadap kebutuhan-kebutuhan dasariah manusia. Puasa akan memperhalus rasa
kasih saying kepada sesame manusia akan Tuhan.
Kelima, Haji sebuah
prosesi peribadatan terakbar bagi kaum muslim sedunia untuk berpadu
menganggunkan Tuhan dan berziarah kerumah-rumah-Nya. Haji adlah cerminan
persaudaraan seluruh umat muslim sejagad, ekpresi persamaan derajad antara
manusia dengan manusia yang lain di belahan bumi manapun.
KESIMPULAN
Tujuan Sosialisme
Islam:
Kemerdakaan
dinisbatkan pada kebebasan kepada manusia untuk untuk memilih jalan hidupnya.
Kebebasan dari segala bentuk ekploitasi dan penindasan oleh sekelompok manusia
atas manusia lain. Hal ini berarti bahwa segala bentuk penjajahan dan perampasan
hak sama sekali tidak mendapatkan justifikasi dalam Islam. Dalam konteks
historis, kehadiran Islam senantiasa menentang segala bentuk perbudakan dan
eksploitasi manusia atas manusia lain yang merambak dalam dalam masyarakat.
Islam membawa suatu kekuatan yang membebaskan (lebereating force). Memerdekan
seorang budak dari kesewenangan tuanya di nilai sebagai perjuangan suci, sama
halnya dengan memperdulikan nasib kaum miskin dan anak-anak terlantar yang
minus akan kasih kasyang.
Persamaan
bersumber pada nihilnya dominasi manusia atau manusia yang lain, persamaan
kedudukan di hadapan Tuhan, serta tidak berlakunya kelas-kelas sosial maupun
kelebihan satu golongan manusia berdasarkan atribut-atribut, suku, ras,
jabatan, maupun kekayaan. Kesatuan sosial dalam Islam ini di dasarkan atas
tawhid itulah Islam menghapuskan disparitas ekonomi, etnis, ras, dan status
sosial.
Sedangkan persaudaraan
merupakan manifestasi dari konsep ukhuwwah yang mempromosikan persaudaraan
dalam konsep Islam di dasarkan pada kesadaran humanistic bahwa tidak ada
manusia yang mampu hidup sendiri tanpa kontribusi mahkluk lain. Dengan
demikian, keterikatan antar manusia adalah konsepsi yang meladasi hubungan
timbal balik dalam solidaritas dan persaudaraan. Ilustrasi metaforis yang
menunjukan konsep persaudaraan dalam Isalam adalah sebagaimana perkataan Nabi
Muhammad SAW, bahwa hubungan seorang individu sebagian merasakan penderitaan
maka bagian tubuh yang lain menujukan solidaritasnya.[15]
Daftar
Pustaka
Supriadi, eko, Sosialisme
Islam. RausyanFikr: Yogyakarta, 2010.
Noer, deliar, Pemikiran
Politik di Negeri Barat Rajawali: Jakarta, 1985
Ali Sodiqin dkk, Sejarah
Peradaban Islam LESFI: Yogyakarta, 2002
Smith, huston, Agama-Agama
Manusia Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1985
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan
Sosialisme SEGA ARSY: Bandung, 2006
Ramadhan, Syamsudin, Koreksi Total
Sosialisme-Komunisme Marhaenisme Al Azhar Press: Bogor, 2001
[1] Eko supriadi, Sosialisme
Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 7.
[2] Marx (Karl
Heinrich Marx) lahir pada tahun 1818 di Trier (Traves) Jerman dari keluarga
Yahudi, adalah seorang ahli ekonomi
Jerman, filusuf, dan revolusionis. Ia belajar sejarah, hukum dan
filsafat di Bonn, Berlin dan Jena kemudian memperoleh gelar doctoral pada tahun
1841. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Berlin, Marx muda di pengaruhi
pemikiran G.W.F Hegel dan pengikut Hegelian muda radikal yang kemudian
pengalaman tersebut mempengaruhi pemikiranya tentang Sosisalisme. Lihat Deliar
Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Rajawali: Jakarta, 1985). Hal.
149-150.
[3] Eko supriadi, Sosialisme
Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 9.
[4] Luwig Andreas
Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filososf Jerman. Dalam karyanya yang
berjudul The Esence of Christianity, ia menulis tentang analisis kritis atas
kepercayaan terhadapa agama (dalam konteks ini agama yang menjadi obyek kajian
adalah agama kristen) dan kontribusinya tentang konsep materialism. Sebagai
thesis yang dikemukakan sebelem Hegel tentang konsep alienasi, Feuerbach
menegakan sebuah analisis bahwa pemikiran manusia adalah hasil interprestasi
atas segala realitas. Berangkat dari idealism tersebut kemudian Feuerbach
melakukan kritik terhadp keberadaan agama. Menurutnya Tuhan dan sebuah alasan
absolut hanyalah proyeksi atas pemikiran manusia, sehingga agama, menurut
Feyerbach, mengiring manusia pemeluknya kepada keterasingan dari dirinya
sendiri. Dari ide dasar ini Karl Marx membangun sebuah teori alienasi. Teori
tersebut merupakan hasil dari interpretasi Marx terhadap nasib kaum buruh yang
terasing dari beragam faktor, baik dari produk yang dihasilkan oleh
tangan-tangan buruh itu sendiri maupun terasing dari lingkungan luarnya. Lihat
Syamsudin Ramadhan, Koreksi Total Sosialisme-Komunisme Marhaenisme (Al
Azhar Press: Bogor, 2001), hal. 20.
[5] Alienasi
merupakan bentuk hubungan di mana individu terasing darinya. Seorang buruh di
deskripsikan sebagaimana barang yang dijual. Ia telah menjual tenaga, keahlian,
dan waktunya kepada para pemilik modal atau majikan. Ia menjual sebagian besar
hidupnya untuk orang lain yang menguasai buruh, hingga buruh tidak punya arti
diri sebagai manusia seutuhnya. Lihat Eko supriadi, Sosialisme Islam
(RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 84-85.
[6] Communist
Manifesto (1848), dibakukan sebagai platform pernyataan bersama pada sebuah
partai pekerja internasional, The Communis League, dan diumumkan selama
revolusi Eropa 1848. Lihat Year 2000 Grolier Multimedia Encyclopedia,
opcit dalam pokok bahasan “Communist Manifesto”.
[7] Ali Sodiqin
dkk, Sejarah Peradaban Islam (LESFI: Yogyakarta, 2002), hal. 21.
[8] Eko supriadi, Sosialisme
Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 87.
[9] HOS.
Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (SEGA ARSY: Bandung, 2006), hal. 46-47.
[10] Eko supriadi, Sosialisme
Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 132-133.
[11] Eko supriadi, Sosialisme
Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 97-99.
[12] Sunnah (hadits)
adalah seluruh perkataan, tindakan, maupun sikap Nabi Muhammad, di mana ia
menjadi satu sumber dasar hukum bagi agama Islam selain al-Qur’an
[13]Eko supriadi,
Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 112.
[14] Lihat Huston
Smith, Agama-Agama Manusia (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1985), hal.
281.
[15] Eko supriadi,
Sosialisme Islam (RausyanFikr: Yogyakarta, 2010), hal. 132-133.
Comments
Post a Comment