Skip to main content
Nama                      : Eko Rojana. S.pd.I.,M.A Tempat/Tgl Lahir  : Mendahara Tengah 15-03-1991 Jenis Kelamin       : Laki-Laki Alamat                   : Jl.Palembang RT/RW                    : 006 Kel/Desa                : Mendahara Tengah Kecamatan            :Mendahara Agama                   :Islam Status                     :Bakal Kawin Ayah : M.Arsyad Ibu    :Desmawati Jenjang Pendidikan: 1. SD Mendahara Tengah: 1997-2003 2. MTs Subulussalam: 2003-2006 3. MAK Albaqiatusshalihat: 2006-2009 4. S1 IAIN Bengkulu: 2009-2014 5. S2 UIN SUKA Yogyakarta: 2016-2018 Pekerjaan 1. Dosen B.Arab STIT SB Pari...

Analisis Metafora Warna Dalam Bahasa Melayu Jambi


A.    Latar Belakang
Kata warna merupakan kata yang lumrah bagi masyarakat dalam berbagai bahasa dan budaya di dunia. Dengan kata lain, kata-kata warna dapat digunakan, baik secara literal yang menunjukkan warna itu maupun secara metafora untuk menunjukkan asosiasi makna yang berbeda. Kata-kata warna dalam berbagai bahasa dan budaya tentu akan menyampaikan makna yang bemacam-macam pula.
Berbagai asosiasi tentang makna kata warna yang dihasilkan dari konsep literal atau metafora merupakan dampak perbedaan budaya dari setiap negara. Karena perbedaan latar budaya itulah, konotasi warna dalam suatu bahasa berbeda dengan bahasa lainnya. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris green ‘hijau’ dalam as green as envy (sehijau cemburu) diasosiasikan dengan ‘cemburu atau iri’, red ‘merah’ dalam go as red as beetroot (semerah ubi merah) diasosiasikan dengan ‘marah atau malu’, black ‘hitam’ dalam the black sheep of the family (domba hitam keluarga) diasosiasikan dengan ‘anggota keluarga yang ganjil/memalukan’, dan yellow ‘kuning’ dalam ‘yellow-belly’ (perut kuning) diasosiasikan dengan ‘sifat pengecut’.
Dalam bahasa Indonesia metafora warna juga ditemukan dalam berbagai frasa seperti meja hijau yang berarti pengadilan, lampu kuning yang berarti peringatan (Wijana, 2015). Dalam bahasa Persia white beard berarti orang yang berpengalaman atau bijaksana, white eye (mata putih) berarti orang yang kurang ajar atau tidak sopan’, black fortune (bernasib hitam) berarti ‘orang yang tidak bahagia’ (Rasekh dan Gafael, 2011). Dalam bahasa Cina warna merah memegang peranan penting dalam kehidupan. Orang-orang mengasosiasikan warna merah dengan kegembiraan. Penggunaan kata merah secara metaforis dalam frasa seperti a red letter day (hari surat merah), holy red (merah suci) (Guime He, 2011).
Istilah warna dalam bahasa tidak hanya mengekspresikan warna itu, tetapi juga diukir dan diberkahi dengan karakteristik budaya yang berharga dari setiap bangsa. Hubungan antara budaya dan bahasa memberikan efek yang sangat besar terhadap makna dari kata-kata warna tersebut (Zang, 2007). Selain itu, metafora kata-kata warna dipengaruhi oleh metonimi karena kebanyakan makna konotasi yang ditunjukkan oleh kata warna terlihat sangat mendasar. Nilai konotasi dari kata-kata warna muncul dari ekspresi linguistik yang telah disepakati bersama. Pengguna bahasa dapat menggunakan pengetahuan bahasanya untuk mendukung suatu kesepakatan/kepercayaan (Philip, 2006; Rasekh & Ghafel, 2011).
Secara ilmiah, warna merupakan evaluasi kesan visual dari kualitas cahaya yang direfleksikan oleh objek yang secara mendasar yang ditentukan oleh komposisi spektrumnya. Spektrum merupakan rentangan berbagai warna yang dapat dilihat dalam cahaya yang diukur oleh panjang gelombang. Contohnya, panjang gelombang warna merah adalah 400 milimikron, sedangkan warna biru violet adalah 700 milimikron (Osgood, 1953:137; Wijana: 2015:4). Corak dalam sebuah spektrum meliputi dua dimensi lainnya, intensitas dan kecerahan.
Tiga dimensi warna (corak, intensitas, dan kecerahan) dikombinasikan untuk membentuk sebuah sistem koordinat dalam kontinum silindris yang disebut warna solid. Dari kondisi ini secara logika semua orang dari berbagai kelompok sosial harus memiliki kategori warna yang sama karena secara fisiologika mereka memiliki kesan yang sama terhadap warna-warna alamiah. Walaupun begitu, kategori warna selalu berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun masyarakat tutur yang memiliki persepsi makna yang sama.
Sebagai salah satu bahasa dan budaya di dunia, bahasa Melayu Jambi juga banyak menggunakan metafora warna. Ekspresi warna dalam bahasa Melayu Jambi memiliki konotasi yang khas dan beragam pula, sebagai contoh kata warna ‘putih’ pada frasa putih mato (putih mata) berasosiasi dengan ‘kekecewaan’ dakata “merah” Merah talingonyo (merah telinganya) berasosiasi dengan ‘kemarahan’. Masih banyak kata warna dalam bahasa Melayu Jambi yang belum tergali dan diteliti. Sebagian dari kata-kata warna tersebut sudah jarang dipakai sehingga tidak dikenal lagi oleh kaum muda. Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji tentang kata warna yang difokuskan terhadap konotasi dari metafora warna dalam bahasa Melayu Jambi perlu dilakukan.
cara menghubungkannya dengan faktor- faktor luar bahasa seperti lingkungan, sejarah, agama, pendidikan dan fakta-fakta sosial budaya yang ada di Melayu Jambi. Data yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis dan ditampilkan dengan memberi contoh dalam kalimat mulai dari metafora yang berkonotasi negatif, disusul dengan yang berkonotasi netral atau positif.



B.     Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penulisan ini adalah warna apa sajakah yang digunakan dalam ekpresi metafora warna bahasa Melayu Jambi dan apa makna dari metafora tersebut?

C.     Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan warna-warna yang digunakan dalam ekpresi metafora dan untuk mendeskripsikan konotasi/ makna ekpresi metafora warna tersebut.

D.    Metode penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Data diambil melalui pengalaman penulis sendiri ketika berada di Provinsi Jambi. Dan penulis juga mengambil dari lirik lagu, peribahasa, dan dari peneliti sebagai penutur asli. Ekpresi idiomatis dalam kata warna ini diambil dari kata-kata warna yang terdapat pada tubuh manusia (termasuk emosi, kesehatan, dan penyakit) dan bagian-bagiannnya, serta makluk hidup (tumbuh-tumbuhan dan binatang).

E.     Kerangka Teori
Menurut Wahab (1990:5), dalam pemakaian kedua atau secara metafora, arti dari sebuah unit linguistik tidak dapat diperoleh secara langsung dari simbolnya. Walaupun begitu, makna tersebut harus diinterpretasikan berdasarkan persamaan antara makna utama dan makna kedua atau menurut Koveces (2006:374), antara konsep ranah sumber dan ranah targetnya lebih abstrak daripada ranah sumbernya. Wijana (2015:5) memberi contoh, kuning dalam lampu kuning memberi persamaan yang memungkinkan antara konsep ‘peringatan’yang diberikan oleh suatu institusi dan yang ditunjukkan oleh tanda lalu lintas. Berikut adalah contoh kalimatnya.

a.          Ia mengurangi kecepatannya saat lampu kuning menyala.
b.         Ia sudah mendapat lampu kuning dari program studinya.
Selain itu, Li (2007) menyatakan bahwa metafora sebagai bagian dari bahasa berasosiasi erat dengan sejarah, budaya dan adat istiadat. Metafora menurut Lehman (2000:79) adalah gaya bahasa berdasarkan kesamaan dengan memberikan sebuah kata dengan makna lain melalui perbandingan tidak langsung. Sesuai dengan pendapat tersebut, Oktavianus dan Revita (2013:127) menyatakan bahwa metafora adalah memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat pada kedua benda yang diperbandingkan. Jadi, metafora adalah pengalihan makna dari acuan 1 ke acuan 2 berdasarkan persamaan atau perbandingan komponen makna dari kedua acuan tersebut.





PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil temuan penulis, ditemukan 4 warna yang digunakan dalam metafora warna dalam bahasa Minangkabau. Warna-warna tersebut adalah warna, putih, abu-abu, merah, dan hijau.
1.      Warna “Putih”
Warna putih dalam metafora bahasa Melayu Jambi juga disandingkan dengan anggota tubuh lainnya, yaitu mata. Penyandingan kedua kata tersebut membentuk ungkapan putih mato ‘putih mata’ yang berasosiasi dengan kekecewaan, seperti dalam data berikut.
a.      Sampe putih mato mencari, dak ketemu jugo kunci motor tu
(smapai putih mata mencari, tidak ketemu juga kunci motor itu)
Pada data kalimat putih mato mencari menunjukkan kekecewaan seseorang karena terus menerus menerus mencari kunci motor yang tidak ketemu-ketemu. Jadi, putih dalam ungkapan ini diasosiasikan sebagai suatu kekecewaan yang mendalam.
b.      Dari pado beputih mato, eloklah beputih tulang
(Dari pada beputih mata, lebih baik beputih tulang)
Kalimat beputih mato berasosiasi dengan rasa malu yang mendalam sehingga tidak sanggup lagi berhadapan dengan orang lain. Rasa malu yang mendalam yang dialami seseorang menyebabkan tekanan jiwa. Tekanan jiwa yang mendalam tersebut menyebabkan orang tersebut tak sadarkan diri yang ditandai dengan pandangan mata yang kabur atau putih. Jadi, rasa malu yang teramat sangat diekspresikan dengan penglihatan mata yang putih. Selanjutnya, baputih tulang (berputih tulang) berkonotasi dengan ‘mati’ karena kerangka orang yang sudah mati jelas berwarna agak keputihan. Jadi, tulang yang putih disimbolkan dengan kematian.

2.      Warna “Abu-abu” atau “kelabu”
a.      Lah kelabu badanyo, masih bae dio kerjo terus
(sudah kelabu bandanya, masih saja dia kerja terus)
“sudah sakit dia tetap kerja”
Pada kalimat di atas kata kelabu badannya menunjukkan seseorang yang kelihatan tidak sehat dan itu jelas terlihat dari wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang tidak berdaya. Wajah yang pucat atau agak keabu-abuan diasosiasikan dengan keadaan sakit. Jadi, ungkapan lah kelabu badannyo diinterpretasikan sebagai ungkapan yang menunjukkan seseorang dalam keadaan sakit.
b.      Lah tau dio tu abu-abu orangnyo, masih bae kau pecayo
(sudaah tau dia itu abu-abu orangnya, masih saja dipercayai)
Pada kalimat abu-abu orangnya menujukan seseorang yang sifatnya tidak baik, seseorang yang selalu berudusta kepada semua orang.
3.      Warnah “Merah”
warna merah, (kemerah-merahan) dapat berkolokasi dengan tanah sehingga membentuk ekspresi tanah merah (tanah kemerah-merahan). Ekpresi ini bermakna ‘kuburan manusia yang baru dibuat. Seperti kalimat berikut:
a.      Masih merah tanah kuburan, lah sudah pacak kau nak cari laki lagi
(masih merah tanah kuburan, sudah mau kamu cari suami lagi )
Kalimat di atas menunjukan kekesalan amat mendalam kepada seorang wanita yang baru saja ditinggal suaminya dan ingin secepatnya mencari suami lagi dengan mengungkapkan “tanah merah kuburan suaminya”
b.      Lah merah mukonyo, garo-garo nengok kelakuan kau tu
(sudah merah mukanya, karna melihat prilakumu)
Kaliamat merah muka menunjukan seseorang yang sedang marah dikarnakan melihat prilaku yang tidak baik terhadap dirinya.

4.      Warna “Hijau”
Warna hijau jika sandingkan dengan anggota tubuh seperti mata menunjukan “rakus” seperti kata hijau mata yang sering diungkapkan dalam bahasa melayu jambi. Seperti kalimat berikut.
Hijau mato, kalau nengok duit banyak
(hijau mata, jika melihat duit banyak)
Kalimat di atas menujukan seseorang yang rakus dan tamak jika melihat uang banyak.




KESIMPULAN
Dari hasil penemuan penulis tentang kata warna dalam bahasa Melayu Jambi, penelis menemukan 4 (empat) warna dalam ekspresi metafora. Keempat warna tersebut seperti warna putih, abu-abu, merah dan hijau memiliki ekspresi metafora fositif dan negatif, dan hanya warna putih memiliki ekspresi positif sedangakan tiga warna lain seperti abu-abu, merah dan hija memilik ekspresi negatif.
Setiap kalimat yang mengguanakan kata warna dalam bahasa Melayu Jambi memang memiliki keunikan dan mengandung unsur seperti psikologis dan fisik. Ekspresi metafora dalam warna putih berasosiasi dengan kekecawaan dan rasa malu. Ekspresi metafora dalam warna abu-abu berasosiasi dengan keadaan sakit dan kekesalan. Ekpresi metafora dalam warna merah berasosiasi dengan kemarahan. Dan ekspresi metafora warna hijau berasosiasi dengan kerakusan.










Dafatar Pustaka
Wahab, Abdul. 1990. “Metafora sebagai Sistem Pelacak Ekologi”. Dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya III. Yokyakarta: Kanisius.
Wijana, I Dewa Putu. 2015. “Metaphors of Color in Indonesia”. Dalam Humaniora, Vol. 27, No.1, hlm. 3--13.
Zang. 2007. “A Comparison of Color Terms and Their Translation”. Dalam US-China Foreign Language, vol. 45, hlm. 28--32
Guime, He. 2011. “A Comparative Study of Color Methapors in English and Chinese”. Dalam Theory and Practice in Language Studies. Vol. 1 No. 12, hlm. 1804—1808.
Kovesces, Zoltan. 2006. Universality and Variation in the Use of Metaphor. Cambridge. Cambridge University Press.
Oktavianus dan Revita. 2013. Kesantunan dalam Bahasa Minangkabau. Padang: Minangkabau Press.

Comments

Popular posts from this blog

Dampak Penggunaan Artificial Intelligence (AI) Terhadap Mahasiswa